Mbak Atik adalah tetangga depan rumahku. Suaminya seorang sopir bus yang usianya terpaut jauh dengannya. Suaminya meninggal secara mendadak, mungkin karena serangan jantung akibat kebiasaannya minum minuman keras.

Sebulan setelah menjanda kami beberapa orang sedang duduk-duduk di depan rumah seorang teman yang rumahnya bersebelahan dengan rumah Mbak Atik sambil bermain gitar. Ketika kami asyik bermain gitar Mbak Atik kelihatan gelisah dan keluar masuk rumahnya. Dua anaknya yang masih kecil mungkin sudah tidur. Kadang ia duduk di bangku panjang di sudut rumahnya yang berseberangan dengan tempat kami nongkrong. Matanya menerawang jauh, mungkin setelah sebulan menjadi janda ia mulai merasakan sepinya tidur sendirian.

Usianya memang belum terlalu tua, sekitar tiga puluh lima tahun. Usia dalam gejolak, kata judul film tahun 80-an. Usia yang lagi matang-matangnya dengan gairah yang bergejolak. Punggungnya yang melengkung, bongkok udang kata orang, menimbulkan fantasi seksual yang luar biasa.

Mbak Atik merebahkan dirinya di atas bangku panjang yang didudukinya. Kedua kakinya dinaikkan ke atas bangku. Kami saling memandang dan menyikut sambil tersenyum.

“Tuh sudah dikasih kode, siapa berani duluan maju?” salah seorang menyeletuk pelan.
“Dia ingin menunjukkan badannya masih oke punya,” yang lain menimpali.

Akibatnya acara main gitar jadi kacau berantakan. Tak lama Mbak Atik masuk kembali ke dalam rumahnya. Akhirnya kamipun bubar pulang kembali ke rumah masing-masing. Karena kebelet pipis, aku memutar menuju ke sumur di belakang rumah Mbak Atik. Baru saja kubuka ritsluiting celanaku terdengar pintu belakang rumahnya dibuka. Buru-buru aku naikkan lagi ritsluitingku.

“Eh Mbak Atik.. Belum tidur? Maaf numpang buang air Mbak. Sudah nggak tahan nih,” kataku tersipu malu.
“Kalau mau kencing masuk aja ke dalam kamar mandi sana, nanti kelihatan orang,” katanya.
“Ya Mbak, maaf ya Mbak!”

Akupun masuk ke dalam kamar mandi, sementara Mbak Atik berdiri di dekat sumur. Kelihatannya ia juga ingin buang air kecil.

Sebentar kemudian akupun keluar dari kamar mandi dengan perasaan lega. Mbak Atik menggamit lenganku dan berkata, “To.. Tolong tungguin aku sebentar, aku mau pipis juga. Entah kenapa malam ini aku merasa agak takut”

Entah dengan terpaksa atau senang hati kuturuti permintaannya. Toh tidak memberatkan. Terdengar desisan air dan disusul dengan beberapa kali guyuran air. Aku sudah mulai dengan analisa situasi. Sekarang ini mungkin temanku yang rumahnya di samping ini belum tidur dan menungguku di depan. Kupikir keadaan belum memungkinkan untuk beraksi, namun kutunggu sampai Mbak Atik keluar dari kamar mandi untuk sekedar mengetahui sinyal atau tanda-tanda awal dari gerak tubuh dan sikapnya.

Mbak Atik keluar dari kamar mandi. Kuperhatikan sebentar, ternyata tubuhnya memang masih oke. Tingginya hampir sama denganku dengan bahu lebar dan kekar untuk seorang perempuan. Rambutnya keriting papan tergerai sampai di bawah bahu. Ditunjang lagi dengan dadanya yang cukup besar, mungkin 36.

“Terima kasih To sudah menungguiku,” katanya sambil sedikit mendorong tubuhku agar ia bisa lewat.

Aku baru sadar ternyata tempat aku berdiri memang di dekat tembok pembatas sumur yang sempit, sehingga tidak bisa dilalui dua orang bersama-sama. Dengan gerakan seolah-olah tanpa sengaja dadanya sengaja menggesek lenganku. Kurasakan sebuah tekanan lembut pada lenganku. Sepertinya ia tidak mengenakan BH.

“Ya Mbak. Sama-sama. Mari Mbak saya mau pulang,” kataku sambil beranjak pergi. Satu tanda telah kudapat, tapi aku harus bersabar dulu. Tidak untuk malam ini, gumamku dalam hati.

Mbak Atik masuk ke rumahnya lewat pintu belakang. Tapi kulihat pintunya belum tertutup dengan sempurna dan ada bayangan di balik pintu. Rupanya ia mengintipku dan menunggu reaksiku. Aku melihat ke arah pintu sambil tersenyum dan seolah-olah sedang membetulkan posisi burungku yang miring.

Beberapa hari kemudian aku sedang melintas di depan rumahnya tiba-tiba aku dipanggil.

“To.. Anto. Saya mau minta tolong sebentar. Tape saya suaranya tiba-tiba pecah. Boleh kan minta tolong sebentar?” katanya.

Ia mengenakan kulot biru dengan kaus kuning berkerah tanpa lengan. Aku berpikir sebentar. Sebenarnya aku tidak punya latar belakang keahlian di bidang elektronika, hanya sekedar tahu sedikit saja. Kupikir tidak ada salahnya mencoba menolongnya membetulkan tape-nya. Kalaupun tidak bisa pasti dia bisa memaklumi karena memang bukan bidangku.

Aku masuk ke dalam rumahnya, kelihatan sepi karena anaknya masih sekolah. Setelah menjanda Mbak Atik mencoba membuka usaha salon kecantikan di rumahnya. Nampaknya usahanya berhasil dan mulai mendapatkan pelanggan tetap.

“Mana tape-nya Mbak, biar saya lihat dulu?” tanyaku.
“Ada di kamar, masuk saja ke kamar. Nggak apa-apa kok,” jawabnya.

Aku masuk ke dalam kamar dan kuambil tape-nya dan beberapa kaset untuk mencoba lalu kubawa keluar. Setelah kuhubungkan dengan aliran listrik, aku mencoba menghidupkannya. Ternyata memang suaranya tidak sempurna. Analisaku headnya kotor atau kendor bautnya.

“Minta alkohol dan kapas Mbak! Kalau ada obeng kecil sekalian”

Aku yakin dia tidak punya head cleaner, jadi biar kucoba bersihkan pakai alkohol saja. Sebentar kemudian ia sudah kembali dengan membawa kapas, sebuah botol plastik kecil dan obeng kecil.

“Ini To. Alkoholnya nggak ada tapi Bapaknya dulu kalau membersihkan tape biasanya pakai ini,” sambil mengangsurkan bawaannya.

Kuterima dan kuperhatikan, ternyata dugaanku salah. Ia masih menyimpan head cleaner. Kubersihkan head tape dan rodanya, lalu kucoba menghidupkannya lagi. Lumayan, sekarang suaranya sudah mulai bening, namun bas dan treblenya belum pas. Kuambil obeng kecil dan mulai menyetel baut headnya. Beres, suara tapenya kembali normal.

“Sudah Mbak. Beres, kini tinggal upahnya saja,” kataku sambil tersenyum.
“Berapa?” balasnya.
“Nggak kok Mbak, cuma bercanda. Bukan pekerjaan sulit atau mengeluarkan tenaga”
“Jangan To. Keahlian seseorang kan harus dihargai. Apapun bentuk penghargaannya”

Aku teringat sudah lama tidak creambath. Mumpung di sini sekalian creambath saja. Aku bukan ingin creambath gratis untuk bantuanku tadi, tapi memang sudah saatnya aku creambath.

“Aku mau creambath, bisa sekarang Mbak?” tanyaku.
“Boleh. Duduk di kursi sana, sebentar aku siapkan peralatannya”

Aku duduk di sebuah kursi putar di depan meja rias. Lumayan lengkap juga peralatannya. Mbak Atik datang dengan membawa seember air dan gayung. Maklum saja ia belum memasang shower untuk keramas.

“Pindah di sini. Keramas dulu biar bersih”

Akupun menurut saja dan duduk setengah berbaring telentang di bak keramas salon. Mbak Atik kemudian menuangkan shampoo dan mengusapkannya dengan lembut di kepalaku.

Karena posisiku yang setengah telentang aku dapat menyaksikan muka dan dadanya yang berada di atas kepalaku. Dadanya kemudian dimajukan tetap di atas mukaku hanya berjarak sekitar 20 cm. Aku mulai menjadi pusing dengan kondisi ini.

“Yuk kembali ke kursi tadi!” perintahnya.

Kami kembali ke depan meja rias. Mbak Atik segera mengurut kepalaku dengan cream. Sejam kemudian ia sudah menyelesaikan pekerjaannya. Kini rambutku dikeringkannya dengan hair dryer. Sambil menyisir rambutku dadanya ditekankan ke tengkukku. Terasa lembut namun sedikit kendor. Penisku segera bereaksi dengan perlahan-lahan mulai membesar.

“Dari mana tadi, pagi-pagi kok sudah rapi?” tanyanya.
“Jalan-jalan ke sawah di belakang kampung. Musim kemarau, jadinya kurang air dan mungkin bisa jadi akan kekeringan,” jawabku.

Dari kaca meja rias kulihat mukanya agak merah mendengar kataku tadi.

Selesai menyisir rambut ia malah membuka dua kancing teratas kemejaku dan mengurut bahuku dengan sedikit body lotion. Napasnya menyapu tengkukku, terdengar berat dan agak terengah-engah. Entah karena mengeluarkan tenaga untuk memijatku atau menahan nafsu. Aku terlena dengan pijatannya dan merasa nyaman sekali, tidak terlalu kuat atau terlalu lemah. Pas susunya, karena dadanya selalu ikut memijat belakang kepalaku. Melihat aku keenakan dipijat Mbak Atik menawariku untuk pijat badan.

“To, mau badanmu dipijat? Ayo ke dalam saja kalau mau kupijit, biar seger badanmu,” katanya sambil menarik tanganku ke arah kamarnya.

Aku semakin pusing, bukannya badan bertambah segar nanti malahan pegal yang akan kudapat. Aku ragu dan melirik ke arah pintu, takut kalau ada pelanggan lain yang masuk ke salonnya. Tapi ia tak peduli dan terus menarikku ke dalam kamarnya. Aku menyerah. Que sera sera, whatever will be will be.

Sampai di dalam kamar ia menyuruhku melepas baju dan berbaring tengkurap. Celana panjangku tetap kupakai dan tergantung apa yang terjadi nanti. Kalau harus dibuka kenapa tidak?

Mbak Atik keluar kamar dan kudengar pintu depan ditutup serta suara rel korden yang berderik. Aku meluruskan posisi adik kecilku yang sedikit mengganjal agar nyaman dan tidak terlipat. Berabe kan kalau patah akibat terlipat dan ditindih badanku. Ia kembali dengan membawa handuk kecil, body lotion, piring kecil dan minyak kayu putih. Dicampurnya minyak kayu putih, body lotion dan sedikit cairan lain yang baunya sangat lembut, antara jasmine dan rose.

Ia kemudian mulai mengurut punggungku dengan campuran tadi. Ada rasa hangat minyak kayu putih dan harum mawar melati (semuanya indah!). Setelah itu kemudian tanganku diurut mulai dari lengan sampai jari.

“Berbalik To!” katanya lembut.

Aku berbalik dan segera tangannya mengurut bahu bagian depan dan dadaku. Kini urutannya lebih tepat disebut usapan yang mempermainkan bulu dada, puting dan tentu saja gairahku yang menggelora. Bibirnya tersenyum kecil seolah-olah anak kecil yang mendapatkan mainan baru. Padahal mainannya masih tertutup celana.

“Hh..” Ia menarik napas dalam dan mneghembuskannya kuat-kuat.

Leher dan tangannya berpeluh setelah memijatku. Disekanya dadaku dengan handuk basah yang sudah disiapkannya. Aku berbalik agar ia bisa mengeringkan punggungku. Setelah mengeringkan punggungku ia berbaring di sampingku. Aku kembali dalam posisi telentang.

“Kini giliranku yang meminta upah,” katanya sambil tersenyum lebar.
“Apa upahnya?” pancingku.
“Kamu tadi berkata sawah di kampung kita kekurangan air. Aku ingin kamu mengairi sawahku yang juga sudah lama tidak disiram,” katanya manja dan langsung memeluk dan menciumku.

Que sera sera, quo vadis, eureka, ereksi dan seterusnya aku tidak mengerti lagi.

Kupegang kedua bahunya dari belakang dan kupijit perlahan. Ia menggeliat dan mengusapkan pipinya pada lengan kananku. Kuputar badannya sehingga kini kami saling berhadapan. Kupegang kepalanya dan kutengadahkan mukanya ke mukaku.

Ia menjatuhkan kepalanya ke dadaku. Kupegang bahunya dan kutempelkan pipiku ke pipinya. Ia berbisik, “Puaskan aku sekarang. Airi sawahku sampai becek dan berlumpur..”

Kupeluk dia dan ia semakin merapatkan kepalanya di dadaku. Rambutnya yang keriting papan kusingkapkan ke atas. Kucium bulu halus di leher belakangnya.

“Ssh.. kamu pandai membangkitkan gairah,” rintih Mbak Atik sambil memejamkan matanya.

Lidahku menerobos ke mulutnya dan menggelitik lidahnya. Mbak Atik membalas ciumanku dengan lembut. Tanganku mulai bekerja di atas dadanya dan kuremas buah dadanya. Kurasakan payudaranya sudah agak kendor. Jariku terus menjalar mulai dari dada, perut, pinggang terus ke bawah hingga pahanya. Mbak Atik makin sering menggeliat. Lidahku beraksi di lubang telinganya dan gigiku menggigit daun telinganya.

Tangannya meremas isi celanaku yang mulai memberontak.

Kusapukan bibirku ke lehernya dan kutarik pelan-pelan ke bawah sambil mencium dan menjilati lehernya yang mulus. Mbak Atik mendongakkan kepala memberikan tempat bagi bibirku. Tangannya memeluk leherku dan ia semakin merepatkan tubuhnya ke dadaku, sehingga dadanya yang masih terbungkus kaus menekan dadaku. Diusap-usapnya dadaku dan kemudian putingku dimainkan dengan jarinya.

Kucium bibirnya dan kini ia membalas dengan lumatan ganas. Kubuka kausnya dan kutarik celana kulotnya dan sekaligus celana dalamnya ke bawah. Kulit yang mulus, lembah yang indah dengan padang rumput yang cukup lebat terlihat di sela pahanya.

“Eehhngng…” Ia mendesah ketika lehernya kujilati.

Mbak Atik berguling dan menindih tubuhku. Tanganku bergerak punggungnya.

“Tik…” pengait bra-nya terbuka.

Kunaikkan cup bra-nya. Kini buah dadanya terbuka di hadapanku. Buah dadanya yang besar namun sudah sedikit kendor menggantung di atasku. Putingnya yang berwarna coklat kemerahan mulai mengeras. Digesek-gesekkannya putingnya di atas dadaku. Perlahan tanganku mengusap bahunya dan sekaligus menurunkan tali bra-nya.

Bibirnya kini semakin lincah menyusuri wajah, bibir dan leherku. Mbak Atik mendorong lidahnya jauh ke dalam rongga mulutku kemudian memainkan lidahku dengan menggelitik dan memilinnya. Mbak Atik menggeserkan tubuhnya ke arah bagian atas tubuhku sehingga payudaranya tepat berada di depan mukaku. Segera kulumat payudaranya dengan mulutku. Putingnya kuisap pelan dan kujilati.

“Aacchh, Ayo Anto.. Lagi.. Teruskan Anto.. Nikmat.. Teruskan”

Kemaluanku semakin mengeras. Kusedot payudaranya sehingga semuanya masuk ke dalam mulutku kuhisap pelan namun dalam, putingnya kujilat dan kumainkan dengan lidahku. Dadanya bergerak kembang kempis dengan cepat detak jantungnya juga meningkat. Napasnya berat dan terputus-putus.

Tangannya menyusup di balik celanaku, kemudian mengelus, meremas dan mengocok kemaluanku dengan lembut. Ia melepas ikat pinggang dan menarik resluiting celanaku. Pantatku kunaikkan dan dengan sekali tarikan, maka celana panjang dan celana dalamku sekaligus sudah terlepas. Kini kami dalam keadaan polos tanpa selembar benang.

Bibirnya mengarah ke leherku, mengecup, menjilatinya kemudian menggigit pundakku. Napasnya dihembuskannya ke dalam lubang telingaku. Kini dia mulai menjilati putingku dan tangannya mengusap bulu dadaku sampai ke pinggangku. Aku semakin terbuai. Kugigit bibir bawahku untuk menahan rangsangan ini. Kupeluk pinggangnya erat-erat.

Tangan kiriku kuarahkan ke celah antara dua pahanya. Jari tengahku masuk sekitar satu ruas jari ke dalam lubang guanya. Kuusap dan kutekan bagian depan dinding vaginanya dan kemudian jariku sudah menemukan sebuah tonjolan daging seperti kacang.

Setiapkali aku memberikan tekanan dan kemudian mengusapnya Mbak Atik mendesis “Huuhh.. Aauhh.. Engngnggnghhk”

Ia melepaskan tanganku dari selangkangannya. Mulutnya bergerak ke bawah, menjilati perutku. Tangannya masih mempermainkan penisku, bibirnya terus menyusuri perut dan pinggangku, semakin ke bawah. Ia memandang sebentar kepala penisku yang mengkilat dan kemudian mengecup batang penisku.

Mbak Atik kembali bergerak ke atas, tangannya masih memegang dan mengusap kejantananku yang telah berdiri tegak. Kembali kami berciuman. Buah dadanya kuremas dan putingnya kupilin dengan jariku sehingga dia mendesis perlahan dengan suara yang tidak jelas.

“Sshh.. Sshh.. Ngghh..”

Perlahan lahan kemudian ia menurunkan pantatnya sambil memutar-mutarkannya. Kepala penisku dipegang dengan jemarinya, kemudian digesek-gesekkan di mulut vaginanya. Terasa sudah licin berlendir. Dia mengarahkan kejantananku untuk masuk ke dalam vaginanya. Ketika sudah menyentuh lubang guanya, maka kunaikkan pantatku perlahan.

Mbak Atik merenggangkan kedua pahanya dan pantatnya diturunkan. Kepala penisku sudah mulai menyusup di bibir vaginanya. Kugesek-gesekkan di bibir vaginanya. Mbak Atik merintih dan menekan pantatnya agar penisku segera masuk.

“Ayolah Anto.. Naikkan pantatmu.. Dorong sekarang. Ayo.. Masukkan batangmu.. Pleasse..!!”

Mbak Atik bergerak naik turun dengan perlahan. Vaginanya terasa licin dan agak becek. Kadang gerakan pantatku kubuat naik turun dan memutar. Mbak Atik terus melakukan gerakan memutar pada pinggulnya. Ketika kurasakan lendir yang membasahi vaginanya semakin banyak maka kupercepat gerakanku.

“Anto… Ouhh.. Nikmat.. Oouuhh.” desisnya sambil menciumi leherku.

Kakinya menjepit pahaku. Dalam posisi ini gerakan naik turunnya menjadi bebas. Tangannya menekan dadaku. Kucium dan kuremas buah dadanya yang menggantung. Kepalanya terangkat dan tanganku menarik rambutnya kebelakang sehingga kepalanya semakin terangkat. Setelah kujilat dan kukecup lehernya, maka kepalanya turun kembali dan bibirnya mencari-cari bibirku. Kusambut mulutnya dengan satu ciuman yang panas.

Mbak Atik kemudian menggerakkan pantatnya maju mundur sambil menekan ke bawah sehingga penisku tertelan dan bergerak ke arah perutku. Rasanya seperti diurut dengan lembut namun bertenaga. Semakin lama-semakin cepat ia mengerakkan pantatnya. Desiran yang mengalir ke penisku kurasakan semakin cepat.

“Mbak Atik.. Mbak.. Ouuhh”
“Ouhh.. Sshh.. Akhh!”

Desisannyapun semakin sering. Aku tahu bahwa ia akan segera menggapai puncak kenikmatannya. Kini penisku kukeraskan dengan menahan napas dan mengencangkan otot yang sudah terlatih oleh senam Kegel. Ia merebahkan tubuhnya ke atas tubuhku, matanya berkejap-kejap dan bola matanya memutih. Giginya menggigit bibir bawahnya kuat-kuat. Akupun merasa tak tahan lagi dan akan segera memuntahkan laharku.

Aku berguling dan kini aku berada di atas. Kupompa vaginanya dengan cepat dan akhirnya beberapa saat kemudian..

“Anto.. Sekarang sayang.. Sekarang.. Hhuuaahh. Aku sampai..!” Ia memekik kecil.

Kutekan pantatku sekuatnya. Dinding vaginanya berdenyut kuat menghisap penisku. Ia menaikkan pinggulnya. Bibirnya menciumiku dengan pagutan-pagutan ganas. Desiran dan tekanan aliran lahar yang sangat kuat memancar lewat lubang kejantananku.

“Mbaakk.. Ouhh.. Aa.. Tikk..!”

Kupeluk tubuhnya erat-erat dan kutekankan kepalaku di lehernya. Napas yang bergemuruh kemudian disusul napas putus-putus dan setelah tarikan napas panjang aku terkulai lemas di atas tubuhnya.

0 komentar: